Minggu, 22 April 2012

Tentang Senja Seorang Lelaki Tua

Sore tadi kembali aku tertegun didepan rumah sederhana itu. Rumah tempat tinggal seorang lelaki tua yang hidup meninggalkan hiruk pikuk kota untuk menikmati saat- saat terahirnya di dunia. Seorang kakek yang telah membuka pikiranku tentang bagaimana kehidupan di kota, kakek yang telah membuatku membuka hatiku kembali pada wanita, walaupun dulu aku sempat berjanji pada diriku sendiri untuk tidak mengenal wanita. Karena wanita yang paling kucintai dulu, telah membuatku jatuh.
Seorang kakek yang setiap matahari menjelang terbenam hanya duduk di kursi tuanya. Memegang sebatang rokok yang ia racik sendiri, dikelilingi tarian asap putih yang keluar dari mulut keriputnya. Ditemani seekor kucing yang juga sudah tua, salah satu keturunan kucing pertamanya yang ia beli lima puluh tahun lalu saat ia masih kuliah. Dengan pakaian sederhana ia termenung, menatap kosong langit senja sambil kadang tersenyum, bahkan kertawa kecil, dan tak jarang pula ia menitikan tetes- tetes air mata terakhirnya yang sudah mongering, menguap dimakan usia.
Begitulah kegiatanya setiap senja. Merenung dan mengenang masa mudanya, masa- masa bersama sahabat- sahabatnya, bersama kekasihnya kala ia masih duduk di bangku kuliah. Rasa rindu yang mendalam terlihat jelas dari mimik wajahnya.
Aku tinggal tak jauh dari rumah kakek ini, sekitar duapuluh meter mungkin. Tapi dari sungai tempatku biasa menghabiskan waktu dengan mecari ikan, sangat tidak sulit untuk memperhatikan ekspresi wajahnya yang berubah dari menit ke menit berikutnya.
Kakek ini sudah kuanggap seperti kakeku sendiri. Dia bisa di ibaratkan seperti seekor ayam jago. Ayam jago yang bersemangat berkokok di pagi hari, bersemangat mencari makan hingga siang hari, dan kembali rabun di sore hari, duduk terdiam dikandangnya. Begitu mungkin gambaran kegiatan kakek ini setiap harinya. Setiap pagi ia berolah raga ringan, siangnya selalu terlihat di kebunnya, dan sore hari, kembali ke kursi reotnya.
Ingin rasanya membuat kakek ini sedikit bersemangat di sore hari. Pernah kuajak dia memancing di sungai dekat rumah kami. Bermaksud untuk membuatnya memiliki kegiatan lain selain menerawang langit senja setiap sore. Sampai saat kami sedang memancing, ia kembali tertegun memandangi senar pancingnya, saat itu aku berpikir ia sedang berkonsentrasi dengan senar pancingnya, tapi aku salah, ia kembali terhanyut dalam lamunannya itu. Sejak saat itu aku berpikir mungkin mengajaknya memancing bukanlah hal yang baik. Terlalu berbahanya bagi seorang kakek yang sudah tua ini. Apa lagi arus di sungai ini terlalu tenang dan tanpa riak, menandakan sungai ini cukup dalam.
Kakek Sastrowidjandi, atau akrab dipanggil mbah Astro saat ini. Walaupun dulunya ia sering dipanggil Yandi. Tapi itu dulu, saat darah muda masih mengalir deras di nadinya. Kakek ini sebenarnya memiliki dua orang anak, lelaki dan perempuan. Anak- anak yang sangat berbakti kepadanya dan istrinya. Mereka bekerja di luar negeri dan sudah berkeluarga dengan dikaruniai anak- anak yang cerdas dan lucu dan tak hentinya merengek minta dibuatkan singkong bakar.
Lelaki tua ini lebih memilih hidup sendiri dari pada hidup di kota. Ia ingin menikmati masa tuanya di tempat yang tenang dan nyaman seperti desaku ini. Jauh dari keramaian kota. Suatu pilihan berat yang harus di pilih oleh anak- anaknya. Padahal kedua anaknya berencana mengajaknya tinggal di luar negeri. Tapi apa daya, si tua yang satu ini terlalu keras kepala rupanya. Lebih memilih hidup tenang di usianya yang sudah udzur ditemani seekor kucing kesayangannya.
Sering aku berkunjung kerumahnya, hanya ingin membuatnya sedikit melupakan kegiatan rutinnya setiap senja dengan sekedar bercengkrama dan mendengarkan kisah hidupnya yang sangat memberiku motivasi. Cerita tentang kesuksesannya berkarir, persaudaraan diantara sahabat- sahabatnya, dan cerita tentang istrinya yang sangat ia cintai.
Masih teringat jelas dalam pikiranku saat ia berkata ingin menemui istrinya yang telah pergi mendahuluinya ke alam baka. Dengan suara bergetar dan nafas tertahan. “jika aku punya kesempatan, di sisa hidupku ini, ingin rasanya aku bertemu istriku, untuk sekedar bertemu untuk berbagi cerita kepadanya tentang anak- anak kami yang telah dikaruniai buah hati. Cucu kami. Untuk sekedar bebaring di pangkuannya, merasakan belaian hangat tanganya. Dan untuk sekedar melihatnya tersenyum. Senyumnya yang khas yang selalu membuatku tenang, dan senyum itu tidak kutemui pada wanita manapun selain dia. Mengingat senyumnya membuatku selalu merasa tenang dan nyaman. Bertemu dengannya walaupun hanya dalam mimpi, hanya itu yang aku inginkan di sisa hidupku ini sebelum aku benar- benar menyusulnya”. Kata- kata kakek ini begitu dalam bagiku. Bahkan saat melihat ekspresi wajahnya, tulangku seakan meleleh. Lemas. Begitu besarnya rasa kehilangan yang ia rasakan saat istrinya meninggal karena sakit keras tiga puluh tahun lalu. Saat anak- anaknya masih duduk di bangku sekolah menengah atas.
Seorang istri yang sangat berbakti kepada suami dan orang tua mereka. Seorang istri yang pengertian. Seorang istri yang setia dan menepati janji untuk menemaninya hingga akhir hayat. Seorang istri yang selalu menyelimutinya dikala ia tertidur di meja kerjanya, padahal ia tau bahwa selimut dikamar mereka hanya ada satu. Seorang istri yang selalu berkata “aku tidak apa- apa” saat pisau dapur menyayat jarinya, padahl terlihat jelas dari pucat wajahnya bahwa ia kesakitan. Seorang istri yang selalu berkata “aku tidak ingin barang mahal, berapapun nilainya, jika darimu, aku senang”, saat melihat pakaian atau perhiasan di pusat perbelanjaan, padahal dari binar matanya sangat terlihat bahwa ia menginginkannya. “istriku tidak pandai berbohong,” ujar kakek itu sambil tersenyum haru.
Kakek itu selalu bercerita tentang semua yang ia suka dari istrinya. Dari aroma tubuhnya sampai sifat- sifatnya, tak ada yang luput dari perhatiannya. Ia menyukai cara istrinya terdiam dan berusaha tersenyum menahan rasa cemburu saat teman kantor wanitanya mengajaknya bercengkrama. Menyukai cara istrinya menatapnya ketika ia berbuat kesalahan, bukan tatapan amarah atau dendam, tapi sebuah tatapan hangat yang seolah mengingatkan agar ia belajar dari semua yang ia lakukan. seorang istri yang selalu ada saat ia merasa takut dan ragu akan langkah yang akan ia ambil di kedepan hari. Seorang istri yang sempurna. Itu yang ada di benaku saat mendengar lelaki tua ini bercerita. Dan ssejak saat itu, aku mulai merubah pandanganku terhadap wanita. Karena sebelumnya pernah ada wanita yang telah menghancurkan hidupku.
Sosok wanita sempurna itu yang selalu menghiasi pikirannya disore hari. Diiringi bayangan masa muda lainnya bersama anak- anak dan cucunya, dan sahabat-sahabatnya yang kini telah entah berada dimana. Bahkan mereka masih berada didunia atau tidak pun ia tidak tau. Merasakan rindu luar biasa. Itu yang kulihat tiap kali ia termenung menatap langit senja. Kerinduan yang dirasakan seorang kakek tua yang sudah tidak bisa berbuat apa- apa. Seorang lelaki tua yang hanya bisa menerawang jauh langit senja, mengharapkan waktu bisa diputar kembali hingga ia bisa kembali bersama semua yang ia rindukan.
Lelaki tua itu hanya bisa mengenang semuaya. Hingga terduduk di kursi reotnya di suatu senja, ditemani kucingnya yang setia menunggu disampingnya. Dengan mata terpejam, lelaki tua itu memegang sebatang sebatang rokok yang ia racik sendiri dengan bara api yang sudah mati, seiring matinya bara semangat dalam hidupnya. Asap putih yang biasanya menari- nari disekelilingnya telah hilang. Terbang bersama hembusan nafas terakhir yang keluar dari mulut keriputnya. Terbang bersama semua angan dan kenangan yang ia rindukan. Terbang menuju tempat abadi untuk menemui istri tercintanya untuk sekedar bertemu dan berbagi cerita kepadanya tentang anak- anak mereka yang telah dikaruniai buah hati. Cucu mereka. Untuk sekedar bebaring di pangkuannya, merasakan belaian hangat tangan istrinya. Dan untuk sekedar melihat istrinya tersenyum. Senyum yang khas yang  tidak ia temui pada wanita manapun selain istrinya. Senyum yang selalu membuatnya tenang hingga akhir hayatnya.

……………………………**************……………………………..

by. riki guntara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar