Sore tadi kembali
aku tertegun didepan rumah sederhana itu. Rumah tempat tinggal seorang lelaki
tua yang hidup meninggalkan hiruk pikuk kota untuk menikmati saat- saat
terahirnya di dunia. Seorang kakek yang telah membuka pikiranku tentang
bagaimana kehidupan di kota, kakek yang telah membuatku membuka hatiku kembali
pada wanita, walaupun dulu aku sempat berjanji pada diriku sendiri untuk tidak
mengenal wanita. Karena wanita yang paling kucintai dulu, telah membuatku
jatuh.
Seorang kakek yang setiap matahari menjelang terbenam hanya duduk di
kursi tuanya. Memegang sebatang rokok yang ia racik sendiri, dikelilingi tarian
asap putih yang keluar dari mulut keriputnya. Ditemani seekor kucing yang juga
sudah tua, salah satu keturunan kucing pertamanya yang ia beli lima puluh tahun
lalu saat ia masih kuliah. Dengan pakaian sederhana ia termenung, menatap
kosong langit senja sambil kadang tersenyum, bahkan kertawa kecil, dan tak
jarang pula ia menitikan tetes- tetes air mata terakhirnya yang sudah
mongering, menguap dimakan usia.
Begitulah kegiatanya setiap senja. Merenung dan mengenang masa
mudanya, masa- masa bersama sahabat- sahabatnya, bersama kekasihnya kala ia
masih duduk di bangku kuliah. Rasa rindu yang mendalam terlihat jelas dari
mimik wajahnya.
Aku tinggal tak jauh dari rumah kakek ini, sekitar duapuluh meter
mungkin. Tapi dari sungai tempatku biasa menghabiskan waktu dengan mecari ikan,
sangat tidak sulit untuk memperhatikan ekspresi wajahnya yang berubah dari
menit ke menit berikutnya.
Kakek ini sudah kuanggap seperti kakeku sendiri. Dia bisa di
ibaratkan seperti seekor ayam jago. Ayam jago yang bersemangat berkokok di pagi
hari, bersemangat mencari makan hingga siang hari, dan kembali rabun di sore
hari, duduk terdiam dikandangnya. Begitu mungkin gambaran kegiatan kakek ini
setiap harinya. Setiap pagi ia berolah raga ringan, siangnya selalu terlihat di
kebunnya, dan sore hari, kembali ke kursi reotnya.
Ingin rasanya membuat kakek ini sedikit bersemangat di sore hari.
Pernah kuajak dia memancing di sungai dekat rumah kami. Bermaksud untuk
membuatnya memiliki kegiatan lain selain menerawang langit senja setiap sore.
Sampai saat kami sedang memancing, ia kembali tertegun memandangi senar
pancingnya, saat itu aku berpikir ia sedang berkonsentrasi dengan senar
pancingnya, tapi aku salah, ia kembali terhanyut dalam lamunannya itu. Sejak
saat itu aku berpikir mungkin mengajaknya memancing bukanlah hal yang baik.
Terlalu berbahanya bagi seorang kakek yang sudah tua ini. Apa lagi arus di
sungai ini terlalu tenang dan tanpa riak, menandakan sungai ini cukup dalam.
Kakek Sastrowidjandi, atau akrab dipanggil mbah Astro saat ini.
Walaupun dulunya ia sering dipanggil Yandi. Tapi itu dulu, saat darah muda
masih mengalir deras di nadinya. Kakek ini sebenarnya memiliki dua orang anak,
lelaki dan perempuan. Anak- anak yang sangat berbakti kepadanya dan istrinya.
Mereka bekerja di luar negeri dan sudah berkeluarga dengan dikaruniai anak-
anak yang cerdas dan lucu dan tak hentinya merengek minta dibuatkan singkong
bakar.
Lelaki tua ini lebih memilih hidup sendiri dari pada hidup di kota.
Ia ingin menikmati masa tuanya di tempat yang tenang dan nyaman seperti desaku
ini. Jauh dari keramaian kota. Suatu pilihan berat yang harus di pilih oleh
anak- anaknya. Padahal kedua anaknya berencana mengajaknya tinggal di luar
negeri. Tapi apa daya, si tua yang satu ini terlalu keras kepala rupanya. Lebih
memilih hidup tenang di usianya yang sudah udzur ditemani seekor kucing
kesayangannya.
Sering aku berkunjung kerumahnya, hanya ingin membuatnya sedikit
melupakan kegiatan rutinnya setiap senja dengan sekedar bercengkrama dan
mendengarkan kisah hidupnya yang sangat memberiku motivasi. Cerita tentang
kesuksesannya berkarir, persaudaraan diantara sahabat- sahabatnya, dan cerita
tentang istrinya yang sangat ia cintai.
Masih teringat jelas dalam pikiranku saat ia berkata ingin menemui
istrinya yang telah pergi mendahuluinya ke alam baka. Dengan suara bergetar dan
nafas tertahan. “jika aku punya
kesempatan, di sisa hidupku ini, ingin rasanya aku bertemu istriku, untuk
sekedar bertemu untuk berbagi cerita kepadanya tentang anak- anak kami yang
telah dikaruniai buah hati. Cucu kami. Untuk sekedar bebaring di pangkuannya,
merasakan belaian hangat tanganya. Dan untuk sekedar melihatnya tersenyum.
Senyumnya yang khas yang selalu membuatku tenang, dan senyum itu tidak kutemui
pada wanita manapun selain dia. Mengingat senyumnya membuatku selalu merasa
tenang dan nyaman. Bertemu dengannya walaupun hanya dalam mimpi, hanya itu yang
aku inginkan di sisa hidupku ini sebelum aku benar- benar menyusulnya”.
Kata- kata kakek ini begitu dalam bagiku. Bahkan saat melihat ekspresi
wajahnya, tulangku seakan meleleh. Lemas. Begitu besarnya rasa kehilangan yang
ia rasakan saat istrinya meninggal karena sakit keras tiga puluh tahun lalu.
Saat anak- anaknya masih duduk di bangku sekolah menengah atas.
Seorang istri yang sangat berbakti kepada suami dan orang tua
mereka. Seorang istri yang pengertian. Seorang istri yang setia dan menepati
janji untuk menemaninya hingga akhir hayat. Seorang istri yang selalu
menyelimutinya dikala ia tertidur di meja kerjanya, padahal ia tau bahwa
selimut dikamar mereka hanya ada satu. Seorang istri yang selalu berkata “aku tidak apa- apa” saat pisau dapur
menyayat jarinya, padahl terlihat jelas dari pucat wajahnya bahwa ia kesakitan.
Seorang istri yang selalu berkata “aku
tidak ingin barang mahal, berapapun nilainya, jika darimu, aku senang”,
saat melihat pakaian atau perhiasan di pusat perbelanjaan, padahal dari binar
matanya sangat terlihat bahwa ia menginginkannya. “istriku tidak pandai berbohong,” ujar kakek itu sambil tersenyum
haru.
Kakek itu selalu bercerita tentang semua yang ia suka dari istrinya.
Dari aroma tubuhnya sampai sifat- sifatnya, tak ada yang luput dari
perhatiannya. Ia menyukai cara istrinya terdiam dan berusaha tersenyum menahan
rasa cemburu saat teman kantor wanitanya mengajaknya bercengkrama. Menyukai
cara istrinya menatapnya ketika ia berbuat kesalahan, bukan tatapan amarah atau
dendam, tapi sebuah tatapan hangat yang seolah mengingatkan agar ia belajar
dari semua yang ia lakukan. seorang istri yang selalu ada saat ia merasa takut
dan ragu akan langkah yang akan ia ambil di kedepan hari. Seorang istri yang
sempurna. Itu yang ada di benaku saat mendengar lelaki tua ini bercerita. Dan
ssejak saat itu, aku mulai merubah pandanganku terhadap wanita. Karena
sebelumnya pernah ada wanita yang telah menghancurkan hidupku.
Sosok wanita sempurna itu yang selalu menghiasi pikirannya disore
hari. Diiringi bayangan masa muda lainnya bersama anak- anak dan cucunya, dan
sahabat-sahabatnya yang kini telah entah berada dimana. Bahkan mereka masih
berada didunia atau tidak pun ia tidak tau. Merasakan rindu luar biasa. Itu
yang kulihat tiap kali ia termenung menatap langit senja. Kerinduan yang
dirasakan seorang kakek tua yang sudah tidak bisa berbuat apa- apa. Seorang
lelaki tua yang hanya bisa menerawang jauh langit senja, mengharapkan waktu
bisa diputar kembali hingga ia bisa kembali bersama semua yang ia rindukan.
Lelaki tua itu hanya bisa mengenang semuaya. Hingga terduduk di
kursi reotnya di suatu senja, ditemani kucingnya yang setia menunggu
disampingnya. Dengan mata terpejam, lelaki tua itu memegang sebatang sebatang
rokok yang ia racik sendiri dengan bara api yang sudah mati, seiring matinya
bara semangat dalam hidupnya. Asap putih yang biasanya menari- nari
disekelilingnya telah hilang. Terbang bersama hembusan nafas terakhir yang
keluar dari mulut keriputnya. Terbang bersama semua angan dan kenangan yang ia
rindukan. Terbang menuju tempat abadi untuk menemui istri tercintanya untuk sekedar bertemu dan berbagi
cerita kepadanya tentang anak- anak mereka yang telah dikaruniai buah hati.
Cucu mereka. Untuk sekedar bebaring di pangkuannya, merasakan belaian hangat tangan
istrinya. Dan untuk sekedar melihat istrinya tersenyum. Senyum yang khas yang tidak ia temui pada wanita manapun selain
istrinya. Senyum yang selalu
membuatnya tenang hingga akhir hayatnya.
……………………………**************……………………………..
by. riki guntara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar