Aku suka
banget sama film serial Prison Break. Itu lho, film yang berkisah tentang
seorang anak muda yang sengaja berbuat
kejahatan agar dijebloskan ke penjara. Sebelumnya, dia merajah tubuhnya dengan
tato bergambar blue print bangunan penjara, buat bekalnya kelak untuk
meloloskan diri. Ia sendiri punya misi, yaitu menyelamatkan kakaknya yang
dipenjara, hasil konspirasi dan permufakatan jahat para politisi dan pejabat di
USA terkait kasus pembunuhan.
Dari film itulah aku punya persepsi
bahwa yang namanya penjara itu adalah tempatnya orang-orang jahat, akrab sama
kekerasan, mukanya pada seram dan ngeri, pokoknya kesannya angker banget deh.
Walau ada juga sih yang jadi korban ketidakadilan!
Tetapi, konsep itu runtuh seketika,
saat hari Kamis, 26 Mei 2011 yang silam, aku diajak temanku untuk ikutan acara
konseling di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan Jogja. Waktu kami datang, kami
disambut dengan sangat ramah oleh para petugas LP. Setibanya di kapel, tempat
pertemuan, aku berjumpa dan berkenalan dengan para narapidana. Alamak, mereka
menyapaku, rasanya hangat dan damai banget. Gila, kok ga kayak yang aku
bayangin sebelumnya yak?! Kok beda sama yang ada di film Prison Break?
Ada satu bapak, sebut aja namanya Pak
Koko. Dia angkat bicara soal masa lalunya. Dia berkobar cerita, kalo dia
dulunya tuh perampok. “Aku dulu perampok, punya banyak uang, banyak wanita yang
takluk sama aku. Itu dulu! Liat aku sekarang, sudah tua, pincang pula (sambil
menunjukkan kaki kanannya yang pernah ditembak). Sekarang aku gak bisa bebas
kayak dulu. Ya, beginilah aku hidup di penjara di sisa hidupku” Aku salut
karena dia open! Apalagi dia sudah menyadari kesalahannya. Malah jadi inspirasi
buat aku.
Aku jadi menemukan arti kebebasan yang
sejati. Jujur aja, aku paling anti sama peraturan. Bahkan aku punya
jargon,”Peraturan itu dibuat untuk dilanggar!” Nah lho, ekstrim banget kan?
Hehe. Aku pingin punya kebebasan yang sebebas-bebasnya, tanpa ada tekanan!
Tapi, setelah 'masuk' ke penjara dan melihat sendiri kehidupan para narapidana
dengan segudang aturan yang mengikat. Aku jadi bersyukur, peraturan di
sekelilingku enggak seberat yang mereka jalani. Sebelumnya, aku merasa menjadi
pribadi yang bebas “dari” segala macam hal, tetapi lama-lama aku jadi mikir, aku
tuh bebas “untuk' apa? Kalo aku sering bolos kuliah, apa itu yang namanya
aplikasi dari kebebasan? Kalo aku megang uang banyak, apa aku bebas foya-foya?
Apa faedahnya menjalani kebebasan macam itu? Bak seorang filsuf, aku pun
melontarkan sejuta pertanyaan filosofis dalam pikiranku.Hahaha
Ketika acara mau diakhiri, setiap orang
yang hadir, baik napi, petugas LP,tim pendamping konseling dan para tamu
dikasih kesempatan untuk menyampaikan doa secara spontan. Aku terenyuh luluh,
saat ada ibu yang berdoa buat anaknya yang akan menjalani ujian semester.
“Berkatilah ya Tuhan, anak kami yang akan ujian semester, semoga mereka
semangat dan dapat mengerjakan soal ujian dengan baik. Maaf kami tidak bisa
menemani.” doa ibu itu dengan suara lirih sambil menitikkan air mata. Aku jadi
ingat seorang pastor pernah berkotbah, “Doa yang sakti itu datang dari hati dan
disucikan oleh air mata”. Aku yakin doa ibu itu pasti didengar dan dikabulkan
oleh Tuhan.
Speaking of berdoa, gara-gara ibu itu, aku ngerasa ditampar
bolak-balik di pipi. Biasanya aku doa ya buat keuntungan aku sendiri. Masak
bodo sama nasib orang lain. Aku suka bilang,"Itu derita loe, sob, jadi loe
jalanin aja lah!". Aku selalu ngotot supaya doaku dikabulin. Tapi, ya
astaga! Itu ibu didalam penjara, bukannya doa supaya cepat dibebasin, eh malah
doain anaknya. Padahal belum tentu anaknya doain ibunya. Logikaku kayak
diputarbalikkan, yang tadinya rada miring jadi lumayan lempeng nih.
Sepulangnya dari LP, aku santai di kamar
sambil dengerin lagu rancaknya Bondan Prakoso feat. Fade to Black yang bertitel
“Waktu”. Sepenggal lirik menyentakku yang lagi in de hoy,”..ini semua tentang
edukasi, yang tak kau dapat dari sekolah ataupun skripsi..” Wah, emang bener
pengalaman itu udah merubah image, persepsi dan prasangka burukku tentang
kehidupan di penjara. Jadi ternyata selama ini, pikiranku itulah yang
sebenarnya "terpenjara", karena gak paham arti kebebasan sejati dan
gak memahami makna sebenarnya tentang gimana orang-orang di penjara menjalani
hidupnya. Thanks God. It feels like I got a “Prison Break” in my mind.
Simbol yin dan yang mengingatkan kita bahwa, dalam putih ada
setitik hitam, tetapi dalam hitam pun juga pastilah ada setitik putih. Begitu
pula didalam hidup ini, enggak ada orang yang 100% suci, sama juga kayak orang
tuh enggak ada yang 100% jahat. Orang-orang di penjara tetaplah manusia yang
pantas dihormati dan dihargai dan layak diberi kesempatan untuk membuka
lembaran hidup yang baru demi memperbaiki hidupnya. Aku pun menjalani hidupku
dengan semangat kebebasan yang baru. Aku menaati peraturan yang ada, karena aku
punya kebebasan untuk menaatinya dan bukan karena paksaan! Di jalan aku patuh
sama peraturan lalu lintas, walaupun enggak ada polisi dan aku janji enggak
akan ada lagi presensi kuliah yang bolong atau di kasih strip lagi. Aku merasa
bebas dan penuh suka cita!
Written
by swaragama writting competition winner
Tidak ada komentar:
Posting Komentar