“Lihatlah jam
tangan saat kau berada di lampu merah jalanan yang padat pukul 17:54. Saat kau
berkonsentarasi pada bunyi ‘tik, tok, tik, tok’, coba gabungkan dengan bunyi
klakson mobil dan motor di sekitarmu, tambahkan dengan bunyi gerutu orang-orang
yang tak sabar saat tak kebagian lampu hijau, lihat keringat di dahi mereka,
dan bayangkan kegagalanmu di hari ini, lengkapi dengan sendu langit yang
kemerahan. Apa yang kau rasakan?”
Kita, dan Penghujung Senja
Setiap awal
punya akhir, begitu pula hari. Saat semua keteraturan kembali menuju
peraduannya untuk sejenak beristirahat. Matahari terbenam, kayuh sepeda buruh
menuju rumah sederhananya, kepul asap mobil Bos yang menyuruh supirnya menambah
kecepatan karena ingin segera sampai di rumah, dan barisan burung yang terbang
menuju barat. Ada kesempatan untuk selesai, kembali pulang pada apapun yang
membuat kita tenang. Tenang, tidak sekedar zona nyaman yang kita miliki. Lebih
dari itu, tenang adalah saat diri kita, tanpa dipaksa punya kemampuan untuk
bersyukur dan mengikhlaskan segala yang tidak tercapai saat seharian
beraktivitas. Maka ada berapa banyak pukul 17:54 yang kita lewati setiap
harinya tanpa terpikir sedikitpun untuk mengucap syukur?.
Alunan Emosi di Lampu Merah
Kebanyakan
dari kita, yang punya tuntutan aktivitas seharian, melewati tempat membosankan
ini : simpang beracun. Simpang berjumlah tiga, empat, bahkan lima, yang dengan
kejamnya menyuruh kita menyatu dengan asap kendaraan, menunggu sampai diberi
ijin oleh lampu hijau. Saat paling banyak bunyi klakson, gerutu baik yang
terdengar maupun hanya di dalam hati, hingga kontrol kendaraan yang tidak
karuan lagi saat lampu hijau. Semua itu terjadi ketika penghujung senja, saat
semua orang berebut lebih dulu sampai di tempat tujuan. Entah karena penat
dengan aktivitas seharian di luar rumah, atau justru mereka yang jengah dengan
keadaan rumah sehingga ketika sampai di jalanan langsung berubah liar, luar
biasa liar. Lagi-lagi 17:54. Saat emosi mencapai puncaknya, saat didih penat
mencapai titik penghabisan.
“Saat
semua bunyi-bunyian pukul 17:54 tersebut mengusikku; bayangan klakson, gerutu
dan teriakan frustrasi maupun emosi yang tertahan hingga menjadi tangisan,
semuanya berputar di otakku, yang aku pikirkan hanya satu: Memangnya siapa
kita, berhak marah pada penghujung senja? Memangnya seberapa berkuasanya kita
hingga serempak menyalahkan senja yang dengan tulus memberi keindahan pendar
oranye keunguan di langit? Memangnya apa hak kita, yang kecil di mata Tuhan,
namun merasa besar saat tidak puas akan kegagalan yang sesungguhnya ada karena
kekurangan kita sendiri?”
Penghujung Senja, Saat untuk
Pengagum Syukur
Kalau kita
tidak buta dan tuli, coba beri kesempatan pada sisi hati yang lain untuk
berterima kasih pada penghujung senja, pada kerelaannya yang apik untuk
mengantarkan kita pada malam yang syahdu, untuk diam-diam mendo’akan agar senja
esok hari keadaan kita akan bertambah baik lagi. Siapa bilang senja tak punya
perasaan? Saat semua orang di waktu yang sama, di tempat yang sama dan dengan kepenatan
yang sama beramai-ramai menghujat senja yang dianggap memuakkan, apa yang bisa
kita perbuat jika suatu saat nanti senja akan marah sehingga mengajukan petisi
kepada Tuhan untuk tak mau lagi menjadi bagian dari hari-hari kita?
Berterima kasihlah pada
kegagalan, maka kita akan belajar menjadi pribadi yang kuat.
Berterima kasihlah pada antrian
panjang kendaraan di lampu merah saat penghujung senja, maka kita akan belajar
menjadi pribadi yang memahami situasi.
Berterima kasihlah pada hiruk
pikuk membosankan, maka kita akan belajar menjadi pribadi yang lebih bersyukur
karena diberi kepercayaan untuk menjalankan sebuah tugas.
Berterima kasihlah pada pukul
17:54, maka kita akan mengerti, mengapa keindahan penghujung senja hanya bisa
dimiliki oleh orang-orang yang ikhlas.
Written by Swaragama
writing competition winer
Tidak ada komentar:
Posting Komentar