Minggu, 22 April 2012

syukur yang terlupakan


“Lihatlah jam tangan saat kau berada di lampu merah jalanan yang padat pukul 17:54. Saat kau berkonsentarasi pada bunyi ‘tik, tok, tik, tok’, coba gabungkan dengan bunyi klakson mobil dan motor di sekitarmu, tambahkan dengan bunyi gerutu orang-orang yang tak sabar saat tak kebagian lampu hijau, lihat keringat di dahi mereka, dan bayangkan kegagalanmu di hari ini, lengkapi dengan sendu langit yang kemerahan. Apa yang kau rasakan?”
Kita, dan Penghujung Senja
Setiap awal punya akhir, begitu pula hari. Saat semua keteraturan kembali menuju peraduannya untuk sejenak beristirahat. Matahari terbenam, kayuh sepeda buruh menuju rumah sederhananya, kepul asap mobil Bos yang menyuruh supirnya menambah kecepatan karena ingin segera sampai di rumah, dan barisan burung yang terbang menuju barat. Ada kesempatan untuk selesai, kembali pulang pada apapun yang membuat kita tenang. Tenang, tidak sekedar zona nyaman yang kita miliki. Lebih dari itu, tenang adalah saat diri kita, tanpa dipaksa punya kemampuan untuk bersyukur dan mengikhlaskan segala yang tidak tercapai saat seharian beraktivitas. Maka ada berapa banyak pukul 17:54 yang kita lewati setiap harinya tanpa terpikir sedikitpun untuk mengucap syukur?.
Alunan Emosi di Lampu Merah
Kebanyakan dari kita, yang punya tuntutan aktivitas seharian, melewati tempat membosankan ini : simpang beracun. Simpang berjumlah tiga, empat, bahkan lima, yang dengan kejamnya menyuruh kita menyatu dengan asap kendaraan, menunggu sampai diberi ijin oleh lampu hijau. Saat paling banyak bunyi klakson, gerutu baik yang terdengar maupun hanya di dalam hati, hingga kontrol kendaraan yang tidak karuan lagi saat lampu hijau. Semua itu terjadi ketika penghujung senja, saat semua orang berebut lebih dulu sampai di tempat tujuan. Entah karena penat dengan aktivitas seharian di luar rumah, atau justru mereka yang jengah dengan keadaan rumah sehingga ketika sampai di jalanan langsung berubah liar, luar biasa liar. Lagi-lagi 17:54. Saat emosi mencapai puncaknya, saat didih penat mencapai titik penghabisan.
                “Saat semua bunyi-bunyian pukul 17:54 tersebut mengusikku; bayangan klakson, gerutu dan teriakan frustrasi maupun emosi yang tertahan hingga menjadi tangisan, semuanya berputar di otakku, yang aku pikirkan hanya satu: Memangnya siapa kita, berhak marah pada penghujung senja? Memangnya seberapa berkuasanya kita hingga serempak menyalahkan senja yang dengan tulus memberi keindahan pendar oranye keunguan di langit? Memangnya apa hak kita, yang kecil di mata Tuhan, namun merasa besar saat tidak puas akan kegagalan yang sesungguhnya ada karena kekurangan kita sendiri?”
Penghujung Senja, Saat untuk Pengagum Syukur
Kalau kita tidak buta dan tuli, coba beri kesempatan pada sisi hati yang lain untuk berterima kasih pada penghujung senja, pada kerelaannya yang apik untuk mengantarkan kita pada malam yang syahdu, untuk diam-diam mendo’akan agar senja esok hari keadaan kita akan bertambah baik lagi. Siapa bilang senja tak punya perasaan? Saat semua orang di waktu yang sama, di tempat yang sama dan dengan kepenatan yang sama beramai-ramai menghujat senja yang dianggap memuakkan, apa yang bisa kita perbuat jika suatu saat nanti senja akan marah sehingga mengajukan petisi kepada Tuhan untuk tak mau lagi menjadi bagian dari hari-hari kita? 

Berterima kasihlah pada kegagalan, maka kita akan belajar menjadi pribadi yang kuat.
Berterima kasihlah pada antrian panjang kendaraan di lampu merah saat penghujung senja, maka kita akan belajar menjadi pribadi yang memahami situasi. 
Berterima kasihlah pada hiruk pikuk membosankan, maka kita akan belajar menjadi pribadi yang lebih bersyukur karena diberi kepercayaan untuk menjalankan sebuah tugas.
Berterima kasihlah pada pukul 17:54, maka kita akan mengerti, mengapa keindahan penghujung senja hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang ikhlas.
Written by Swaragama writing competition winer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar