Kamis, 28 Februari 2013

Lalu, Kini atau Kelak

 
 Ditulis oleh sahabatku, Andita Prima pada 17 Juli 2010 pukul 16:48



Memulai kisah baru tanpa diriku.. . seandainya kau tahu, ku tak ingin kau pergi.. meninggalkanku sendiri bersama bayanganmu.. . .”
Lagu seandainya milik vierra itu terus menerus terngiang di pikiranku dan tercekat ketika berusaha melalui bibir. Tepat, dan mengena dengan apa yang aku rasa kini. Sepertinya sakit bukan lagi kata yang cocok unyuk menggambarkan perasaan jika ditinggalkan seseorang yang sangat kau sayangi. 

Saat keinginan untuk membahagiakan seseorang yang sangat berarti dalam hidup ini begitu meluap, dan semangat agar dapat membuatnya tersenyum sangat menggebu, seakan kebahagiaannya adalah candu, dan senyumnya adalah opium, perpisahan menjadi hal yang lebih buruk daripada sekedar kematian. Ketika melihat cara dia mengembangkan tawa adalah satu satunya penghilang dahaga dan binar dimatanya merupakan obat tidur untuk insomnia, lalu dunia ini bukanlah tempat tinggal tanpa lambaian tangannya pada pertemuan kami, kehilangan merupakan hal mengerikan yang tak ingin aku bayangkan sedikitpun. 

Aku tak pernah yakin saat seseorang mulai membicarakan makhluk lain hingga dapat memujanya, sampai suatu saat aku menyadari bahwa ia telah membuatku, ehem, yaa.. .memujanya. Haus akan garis2 halus pada ujung pipinya, yang tercipta tiap ia tertawa. Dan melihatnya berjalan kearahku, menatap tiap langkah kakinya lebih dekat padaku membuatku lemas. 

Yah, nafasku hampir habis ketika dia berdiri di hadapanku dan menyambut genggaman tanganku. 

Seolah ia mengerti caranya mengendalikan dan menyetir perasaanku, ia terlihat amat senang waktu aku mulai kehilangan kata2 walaupun kami hanya berbincang sederhana. Ia tersenyum puas ketika aku melihat polah lucunya, bahkan tertawa saat ia mendapatiku hanya terdiam menatapnya berbicara tentang hari2nya. Tak peduli apa yang kau ceritakan, yang aku tau, cara kau mengeluarkan tiap kata, justru membuatku kehabisan kata2. 

Yes. You realy2 got me!! 

Seolah duniaku teralihkan padanya ketika ia mulai bercerita tentang perasaannya yang juga memilihku. Ingin rasanya kupeluk erat dia saat itu juga, dan biarkan ia yang artikan sebesar apa bahagia yang kurasakan. Jangankan jagad ini dan seisinya, aku sendiripun tak tahu kalau aku bisa sebahagia itu. Membayangkan ia akan ada dan menemani hariku bukan lagi mimpi, membuatku tak habis pikir mengapa sebaik itu Tuhan padaku. Begitu hebat kekuatan kalimat yang ia utarakan, hingga menghentikan senyumku pun aku tak mampu. Hingga kini, rasa itu tak terganti apapun. Ya, apapun. 

Aku menyukai caranya mengusap rambut, ataupun membiarkan anakannya menghiasi wajahnya. Aku menyukai caranya menatap anak kecil yang papa dan merogoh lembaran uang untuknya. Aku menyukai caranya mengeluh saat ia tak bisa mengisi lembar jawaban pada ujian akhirnya. Aku menyukai caranya menyembunyikan baju yang basah agar aku tak khawatir, saat kami melalui hujan dengan sepeda motor. Aku menyukai bintik keringat di ujung hidungnya waktu ia mulai lelah menemaniku berjalan, namun tetap berkata ‘tidak’ ketika aku tawari istirahat. Aku suka caranya menarikku saat menyebrang jalan. Aku menyukai caranya menyematkan pensil di telinga saat dua tangannya sibuk memegang buku dan kertas. Aku suka kata2 gagap yang keluar dari mulutnya saat ia harus menjawab telepon ibuku. Aku suka kerutan wajahnya saat ia menutupi cemburunya pada temanku. Aku menyukai caranya menggaruk kepala kala bingung dan malu. Dan aku mencintai cara Tuhan memberinya tertawa yang tanpa aku lihat, aku pasti tersenyum karenanya. 

Hei, aku memujanya dalam tiap doaku. 

Mengiringi panduan nasib, menjejak harapan dan menyambut tiap kenyataan menjadi sangat dahsyat maknanya ketika aku menoleh, dan disampingku ada dirinya yang meyakinkan bahwa semua ini indah. Menyemangatinya kala ia mulai lelah mengejar asa, dan ingin menghentikan semua usahanya tentang cita cita, membuatku merasa jadi manusia seutuhnya. Membantunya meletakkan kaki dan melangkah, tidak hanya melambungkan kebanggaanku, namun memberi hidup dalam hidupku. Aku akan lakukan apapun agar dia dapat sampai pada tujuan akhirnya.
Dan hal yang tak pernah aku sadari sejak kehadirannya pada duniaku, adalah perpisahan. Yah, aku lupa saat kita bertemu atau menemukan sesuatu, sudah pasti ada masa dimana kita akan melepaskannya, dan kembali pada keadaan sebelumnya. 

Saat itu, saat indah goresan cerita tentang kami sedang kumaknai, keadaan memintanya menjauh dariku. Dari semua khayalan yang baru kami bangun. 

Jangankan merelakannya pergi selamanya, membayangkan ia melepaskan tanganku pun aku tak mampu. Membayangkan ia pergi sebentar saja membuatku mual dan lemas, apalagi harus melihatnya pergi, selamanya. 

Namun apa yang aku, ia dan kami lakukan tidak dapat membuat keadaan menjadi lebih baik, walau kami sangat ingin. Bukan tidak mencegah, namun masing-masing dari kami tau, yang kami usahakan justru akan lebih menyiksanya. 

Dengan kekuatan yang tersisa, kupaksa diriku membiarkannya pergi, karena aku tahu, menahannya lebih lama akan semakin menyakitkan, dan ia tahu, bersamaku saat ini sama saja membunuh dirinya perlahan. 

Melihat ia melangkah menjauh, dan sebentar kemudian menoleh kebelakang untuk meyakinkan aku masih dengan senyumku, walau ia sebenarnya tahu, air mata lah yang lebih ingin menghiasi wajahku. Kurasakan langkahnya tak seperti waktu ia datang kepadaku, langkah yang penuh asa dan ceria yang ingin ia tumpahkan. Terakhir ia bertanya yang hampir membuatku menariknya kembali, “kau yakin ingin aku pergi?”. Namun, menahannya pun sepertinya kini tak berarti lagi. Kujawab dia dengan anggukan, yang semata-mata karena hanya tak ingin ia memikirkanku ketika memulai kisah baru dihadapannya. 

Dengan mudah dapat ditebak, hidupku setelahnya seperti kehilangan jalan, seperti tidak tahu arah, melakukan apapun dengan tanpa tujuan. Hidup kosong tanpa harapan. Menyiksaku, bahkan tiap aku menarik nafas. Kepergiannya seolah membawa serta jiwa dan hatiku ikut bersamanya. Mata ini terbuka, namun tak bisa kulihat apapun yang ada didepanku. Saat tertutup, justru semakin hebat bayangannya menyita malamku. Tidak seperti waktu yang terhitung sebentar bersamanya, dengan indah dia mewarnai dunia dan hidupku bagai sudah bersama lama. Tak kukira sebesar ini pengaruhnya pada hidupku . Tak kusangka sejauh ini dia bawa hatiku. Kini bukan lagi kesedihan yang kurasakan, namun kebencian akan diri sendiri yang begitu bodoh mengiyakan pamitnya. Ingin sekali kutarik atau kuseretnya kembali ia ke dekapanku, namun ternyata tak semudah itu.

Setidaknya seperti itu yang kau gambarkan tentangku ketika kami bertemu kembali dalam suasana yang sebenarnya tidak kami inginkan. Perubahan padaku dan keengganan padamu membuat ini semakin tidak enak untuk dikatakan. 


Tak tau selama ini ternyata kau adalah seseorang yang dengan segala ketulusanmu melihat kekuranganku, dan kau anggap sebagai karunia Tuhan yang berharga. Mengganggapku sebagai tujuan hidup, dan menyebutku dalam tiap doamu. 

Bukan penyesalan yang harus kau rasakan, begitu katamu ketika aku menitikkan air mata, terbanglah sayang, aku hanya ingin kau ingat bahwa akan selalu ada aku saat kau kehilangan daya untuk menggerakkan sayapmu, lanjutmu. 

Pada perbincangan terakhir kita, dengan senyum khasmu kau hanya berkata, Jika suatu saat nanti kita bertemu kembali dalam waktu, keadaan, kenyataan dan perasaan yang lebih baik, dan kau masih menyimpan rasa itu , lalu akupun ternyata melakukan hal yang sama, aku harap kita dapat menjalani hubungan yang lebih baik dari hanya sekedar ini


Tidak ada komentar:

Posting Komentar