Saat dua orang yang sedang
berbeda pendapat, biasanya mereka akan buat suatu kesepakatan untuk menyatukan
pendapat tadi. Sama kaya gue dan dia. Kami.
Kami, empat bulan lalu adalah
sepasang orang yang saling mengerti satu sama lain. Sepasang anak muda yang
mungkin masih sangat berapi-api dalam hal asmara. Ya, kami sepasang anak muda
yang saling menyayangi. Walaupun belum terikat status apapun. Karena menurut
kami, status bukan masalah. Yang penting hati dan niat. Setidaknya kami yang
seperti itu bertahan sampai empat bulan lalu.
Bulan berikutnya, berbeda. Kami bukan
lagi orang yang saling memahami. Bahkan gue sendiri bingung, siapa dia, siapa
gue buat dia. Kami berpisah, dan itu salah gue karena gue belum bisa memperlakukan
dia seperti seharusnya. Atau mungkin perhatian dan perlakuan gue yang menurut
gue baik buat dia, tenyata ngga. Dan karena itu kami pisah. Sekali lagi,
walaupun kami belum punya ikatan apa-apa. Selain ikatan batin mungkin.
Bulan berikutnya, komunikasi
semakin jarang. Kami semakin jauh, dan saat itu gue sangat ber positif
thinking tentang dia. Ini kelemahan gue, gue terlalu percaya sama orang yang
gue sayang. Dalam bayangan gue, saat kami ketemu lagi nanti setelah dia
nyelesein trainingnya, gue bisa kembali ke jalur gue yang dulu sempat
dibelokan. Jalur kami.
Tapi gue salah. Semua bayangan
gue, semua perasaan sayang yang gue pertahankan selama ini sampai menunggu
waktu buat ketemu ternyata salah. Dia berubah, dia berubah menjadi sosok yang
sama sekali gue ngga kenal saat kami ketemu. Sosok yang sekalipun gue kenal
sangat dekat dulu, yang saat bertemu kemarin hanya berjarak beberapa jengkal,
terasa sangat jauh. Ya, ini pertama kalinya gue ngerasa jauh dengan seseorang,
padahal orang itu sedang menjabat tangan gue, sedang senyum sama gue. Dan gue
sadar, jabatan tangan dan senyum itu cuma sebuah bentuk profesionalisme kerja. Karena
kami satu payung perusahaan. Dibalik semua itu, dia sangat jauh. Bahkan gue
ngga bisa liat. Dan belakangan ini gue tau, kalo dia memang bukan orang yang
sama yang gue kenal dulu, dia udah bukan orang yang punya perasaan selalu ingin saling menjaga perasaan kami.
Sekalipun gue tau dia udah bukan
hak gue lagi. Sekalipun gue kecewa karena selama ini ternyata gue sia-sia dalam
menunggu dia. Gue ngga bisa marah, gue ngga bisa benci sama dia. Entah kenapa,
setiap ngeliat dia di lingkungan kerja gue, gue masih ngerasa seneng, walaupun
hanya melihat. Dan walaupun dibalik rasa seneng gue itu, gue ngerasa ada yang
mengikat saluran pernafasan gue, karena gue tau dia bukan lagi orang yang bisa
gue sayang. Rasa sayang gue sekarang udah haram buat dia. Dia telah memilih,
pilihannya bukan gue, dan itu semua karena salah gue sendiri beberapa belan
lalu. Gue salah memperlakukan seseorang yang belum gue kenal banget. Walaupun udah
ada ikatan emosional.
Gue pengen banget memperjuangkan
perasaan gue ke dia, mempertaruhkan harga diri gue sebagai laki-laki. Memohon ke
dia supaya dia ngasih tau bagaimana caranya biar gue bisa dapet tempat lagi. Tapi
gue juga sadar diri. Gue berjuang di sisi yang salah saat ini. Karena orang
yang gue perjuangin, udah bukan milik gue lagi. Dan keadaan itu dia sendiri
yang memutuskan. Jadi gue berhenti. Bahkan untuk nengok dia saat sakit pun gue takut. Gue terlalu pengecut buat membuat seseorang yang gue sayang merasa ngga nyaman. Karena gue tau setiap gue ada di sekitar dia, gue ngerasa dia sangat tidak nyaman. Hanya doa saat ini yang gue bisa panjatkan ke Tuhan. Semoga ini semua terbaik.
Sekarang gue hanya memperhatikan dia dari
jauh, tertawa, bercanda dengan temen-temen gue yang lain. Sedangan jika gue
bergabung, semua diam, dia pergi. Hiih..entah penyiksaan macam apa yang sedang
dia perbuat ke gue. Mungkin gue masih bisa senyum disini. Tapi di tempat lain,
mungkin masih tersenyum juga, hanya saja dengan bibir bergetar mungkin. Gue orang
yang selalu berpositif thinking. Sepahit apapun yang gue rasain, gue selalu
berusaha tersenyum. Walopun gue tau, gue sedang membohongi diri gue sendiri. Tapi
inilah anugerah emosional yang Tuhan berikan ke gue.
Malam tadi kami bicara via
telepon. Bicara tentang semua sikap yang kami pertunjukan didepan umum, bicara
tentang semua arti pandangan mata kami yang tidak pernah bertemu saat
berpapasan.
Malam tadi, gue meminta sebuah
persahabatan, setidaknya. Kalau gue ngga bisa kembali mendapat kesempatan buat
memperbaiki kesalahan gue, kesempatan untuk menyingkirkan semua halangan yang
dulu menutupi pandangan dia ke gue, sampai-sampai yang terlihat saat itu adalah
sebuah kesalah pahaman. Dan itu semua salah gue. Gue terlalu percaya diri dia
bisa menyingkirkan semua halangan itu sendiri. Sampai gue sadar, apa yang ingin gue
tunjukan ke dia, ternyata gagal dia tangkap dengan sempurna. Dan saat ini gue hanya bisa
meminta persahabatan.
Malam tadi, saat gue meminta
sebuah ikatan persahabatan, dia pun meminta satu hal. Dia meminta agar gue
mengerti. Karena kedepannya, dia ngga akan pernah lagi berurusan dengan gue
diluar profesionalisme kerja. Dia meminta agar gue mengerti saat dia ngga
menganggap gue ada. Karena semua sudah terlambat. Dia ingin menjaga
perasaannya, dan dia ingin menjaga perasaan orang lain(nya).
Sebuah pukulan telak buat gue. Semalam tadi kita berbicara tentang suatu kesepakatan. Kesepakatan yang biasa dipakai
orang untuk saling menyatukan. Tapi bukan kesepakatan yang sama seperti itu gue
rasa. Kesepakatan ini berbeda. Kita sepakat, untuk tidak saling bersatu. Kita sepakat
untuk saling menghargai perasaan, entah perasaan yang mana. Gue ngga tau.
Gue bakal sebisa mungkin memenuhi kesepakatan ini. Kalo dia minta gue menghilang, gue ngga akan pernah muncul lagi dihadapan dia. Sekalipun itu urusan pekerjaan. Itu janji gue semalam. Termasuk gue yang ngga akan berjuang lagi buat dia. Mungkin saat ini, cuma dengan cara ini gue menunjukan rasa sayang gue ke dia.
Malam tadi adalah sebuah pengalaman
pertama buat gue, dan ngga akan pernah gue lupain. Terima kasih udah menjadi
obat move on yang gue derita selama 3 tahun sebelum kenal kamu. Terima kasih
masih menyempatkan diri ngedenger unek-unek gue selama ini, sampai tadi malam. Perasaan
kehilangan kaya gini baru pernah gue rasain. Maafin semua kesalahan gue selama
ini yang bikin kamu ngejauh.
Dan Malam tadi,… kita sama-sama
meneteskan air mata. Demi sebuah kesepakatan.
Gi.N.P
Tidak ada komentar:
Posting Komentar