Selasa, 12 Agustus 2014

An Agreement

Saat dua orang yang sedang berbeda pendapat, biasanya mereka akan buat suatu kesepakatan untuk menyatukan pendapat tadi. Sama kaya gue dan dia. Kami.

Kami, empat bulan lalu adalah sepasang orang yang saling mengerti satu sama lain. Sepasang anak muda yang mungkin masih sangat berapi-api dalam hal asmara. Ya, kami sepasang anak muda yang saling menyayangi. Walaupun belum terikat status apapun. Karena menurut kami, status bukan masalah. Yang penting hati dan niat. Setidaknya kami yang seperti itu bertahan sampai empat bulan lalu.

Bulan berikutnya, berbeda. Kami bukan lagi orang yang saling memahami. Bahkan gue sendiri bingung, siapa dia, siapa gue buat dia. Kami berpisah, dan itu salah gue karena gue belum bisa memperlakukan dia seperti seharusnya. Atau mungkin perhatian dan perlakuan gue yang menurut gue baik buat dia, tenyata ngga. Dan karena itu kami pisah. Sekali lagi, walaupun kami belum punya ikatan apa-apa. Selain ikatan batin mungkin.

Bulan berikutnya, komunikasi semakin jarang. Kami semakin jauh, dan saat itu gue sangat ber positif thinking tentang dia. Ini kelemahan gue, gue terlalu percaya sama orang yang gue sayang. Dalam bayangan gue, saat kami ketemu lagi nanti setelah dia nyelesein trainingnya, gue bisa kembali ke jalur gue yang dulu sempat dibelokan. Jalur kami.

Tapi gue salah. Semua bayangan gue, semua perasaan sayang yang gue pertahankan selama ini sampai menunggu waktu buat ketemu ternyata salah. Dia berubah, dia berubah menjadi sosok yang sama sekali gue ngga kenal saat kami ketemu. Sosok yang sekalipun gue kenal sangat dekat dulu, yang saat bertemu kemarin hanya berjarak beberapa jengkal, terasa sangat jauh. Ya, ini pertama kalinya gue ngerasa jauh dengan seseorang, padahal orang itu sedang menjabat tangan gue, sedang senyum sama gue. Dan gue sadar, jabatan tangan dan senyum itu cuma sebuah bentuk profesionalisme kerja. Karena kami satu payung perusahaan. Dibalik semua itu, dia sangat jauh. Bahkan gue ngga bisa liat. Dan belakangan ini gue tau, kalo dia memang bukan orang yang sama yang gue kenal dulu, dia udah bukan orang yang punya perasaan selalu ingin saling menjaga perasaan kami.

Sekalipun gue tau dia udah bukan hak gue lagi. Sekalipun gue kecewa karena selama ini ternyata gue sia-sia dalam menunggu dia. Gue ngga bisa marah, gue ngga bisa benci sama dia. Entah kenapa, setiap ngeliat dia di lingkungan kerja gue, gue masih ngerasa seneng, walaupun hanya melihat. Dan walaupun dibalik rasa seneng gue itu, gue ngerasa ada yang mengikat saluran pernafasan gue, karena gue tau dia bukan lagi orang yang bisa gue sayang. Rasa sayang gue sekarang udah haram buat dia. Dia telah memilih, pilihannya bukan gue, dan itu semua karena salah gue sendiri beberapa belan lalu. Gue salah memperlakukan seseorang yang belum gue kenal banget. Walaupun udah ada ikatan emosional.

Gue pengen banget memperjuangkan perasaan gue ke dia, mempertaruhkan harga diri gue sebagai laki-laki. Memohon ke dia supaya dia ngasih tau bagaimana caranya biar gue bisa dapet tempat lagi. Tapi gue juga sadar diri. Gue berjuang di sisi yang salah saat ini. Karena orang yang gue perjuangin, udah bukan milik gue lagi. Dan keadaan itu dia sendiri yang memutuskan. Jadi gue berhenti. Bahkan untuk nengok dia saat sakit pun gue takut. Gue terlalu pengecut buat membuat seseorang yang gue sayang merasa ngga nyaman. Karena gue tau setiap gue ada di sekitar dia, gue ngerasa dia sangat tidak nyaman. Hanya doa saat ini yang gue bisa panjatkan ke Tuhan. Semoga ini semua terbaik.

Sekarang gue hanya memperhatikan dia dari jauh, tertawa, bercanda dengan temen-temen gue yang lain. Sedangan jika gue bergabung, semua diam, dia pergi. Hiih..entah penyiksaan macam apa yang sedang dia perbuat ke gue. Mungkin gue masih bisa senyum disini. Tapi di tempat lain, mungkin masih tersenyum juga, hanya saja dengan bibir bergetar mungkin. Gue orang yang selalu berpositif thinking. Sepahit apapun yang gue rasain, gue selalu berusaha tersenyum. Walopun gue tau, gue sedang membohongi diri gue sendiri. Tapi inilah anugerah emosional yang Tuhan berikan ke gue.

Malam tadi kami bicara via telepon. Bicara tentang semua sikap yang kami pertunjukan didepan umum, bicara tentang semua arti pandangan mata kami yang tidak pernah bertemu saat berpapasan.

Malam tadi, gue meminta sebuah persahabatan, setidaknya. Kalau gue ngga bisa kembali mendapat kesempatan buat memperbaiki kesalahan gue, kesempatan untuk menyingkirkan semua halangan yang dulu menutupi pandangan dia ke gue, sampai-sampai yang terlihat saat itu adalah sebuah kesalah pahaman. Dan itu semua salah gue. Gue terlalu percaya diri dia bisa menyingkirkan semua halangan itu sendiri. Sampai gue sadar, apa yang ingin gue tunjukan ke dia, ternyata gagal dia tangkap dengan sempurna. Dan saat ini gue hanya bisa meminta persahabatan.

Malam tadi, saat gue meminta sebuah ikatan persahabatan, dia pun meminta satu hal. Dia meminta agar gue mengerti. Karena kedepannya, dia ngga akan pernah lagi berurusan dengan gue diluar profesionalisme kerja. Dia meminta agar gue mengerti saat dia ngga menganggap gue ada. Karena semua sudah terlambat. Dia ingin menjaga perasaannya, dan dia ingin menjaga perasaan orang lain(nya).

Sebuah pukulan telak buat gue. Semalam tadi kita berbicara tentang suatu kesepakatan. Kesepakatan yang biasa dipakai orang untuk saling menyatukan. Tapi bukan kesepakatan yang sama seperti itu gue rasa. Kesepakatan ini berbeda. Kita sepakat, untuk tidak saling bersatu. Kita sepakat untuk saling menghargai perasaan, entah perasaan yang mana. Gue ngga tau. 

Gue bakal sebisa mungkin memenuhi kesepakatan ini. Kalo dia minta gue menghilang, gue ngga akan pernah muncul lagi dihadapan dia. Sekalipun itu urusan pekerjaan. Itu janji gue semalam. Termasuk gue yang ngga akan berjuang lagi buat dia. Mungkin saat ini, cuma dengan cara ini gue menunjukan rasa sayang gue ke dia. 

Malam tadi adalah sebuah pengalaman pertama buat gue, dan ngga akan pernah gue lupain. Terima kasih udah menjadi obat move on yang gue derita selama 3 tahun sebelum kenal kamu. Terima kasih masih menyempatkan diri ngedenger unek-unek gue selama ini, sampai tadi malam. Perasaan kehilangan kaya gini baru pernah gue rasain. Maafin semua kesalahan gue selama ini yang bikin kamu ngejauh.


Dan Malam tadi,… kita sama-sama meneteskan air mata. Demi sebuah kesepakatan. 


Gi.N.P


Tidak ada komentar:

Posting Komentar